« Home | TARBIYAH ALA LUQMAN AL HAKIM 1/2 * » | Bulan Dzul Hijjah » | Indonesia Dan "Sihir" » | RAMADHAN TAHUN INI HARUS BERBEDA !!... » | silsilah iman kpd hari akhir -11- » | silsilah iman kpd hari akhir -10- » | silsilah iman kpd hari akhir -9- » | silsilah iman kpd hari akhir -8- » | Silsilah Iman Kepada Hari Akhir -7- » | silsilah iman kpd hari akhir -6- »

TARBIYAH ALA LUQMAN AL HAKIM 2/2*

Sisi Tarbiyah Kekeluargaan belandaskan  Pola ala Luqman Al Hakim
Banyak Pelajaran yang bisa kita petik dari Kisah Nasehat Luqman kepada Anaknya, yang diabadikan Allah dalam surat Luqman ayat 12 – 19. Kita akan mencoba menjabarkan satu persatu.
1.       Seorang Mukmin berkewajiban untuk membuat reformasi “ishlah” dalam keluarganya, sebagiamana ia berkewajiban untuk dirinya sendiri.
Islam sangat memperhatikan masalah keluarga, bahkan bisa dibilang islam adalah “diinul usrah”, agama yg memberikan landasan dan pijakan untuk keluarga, hingga sebuah keluarga tersebut sukses dunia akhirat, sebagaimana pula Islam menjelaskan dengan lugas tugas dan peran orang tua dalam pendidikan anak. Kisah Luqman ini sangat jelas sekali berhubungan dengan point ini.
Pendidikan Aqidah dalam sebuah keluarga merupakan salah satu benteng keluarga, dan sudah seharusnya benteng tersebut menjadi suatu benteng yg kuat. Kisah Luqman dengan anaknya, merupakan salah satu contoh ideal pembentukan “reformasi” keluarga.

2.       Kewajiban pertama bagiorang tua yaitu penanaman aqidah yang benar dalam diri anak2nya.
Hal ini bisa kita lihat dalam nasehat Luqman yang pertama dan kedua; masalah keimanan dan tauhid.
Keimanan dan Tauhid ini sesungguhnya merupakan fitrah dan kebutuhan manusia, juga merupakan janjinya kepada Allah sejak ia berada di dalam rahim ibunya. “Dan ingatlah ketika tuhanmu mengeluarkanketurunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”, mereka menjawab: “Betul, Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi…” (Al A’raf : 172). Fitrah itulah kewajiban bagi orang tua untuk menjaganya, untuk terus ditanamkan dalam diri anak2nya dan disiraminya.
3.       Kosongkan, Lalu isilah (Attakhliyah qobla Attahliyah) (Al Hadm qobla Albina).
Luqman melarang anaknya untuk berbuat syirik pada awal nasehatnya, untuk kemudian menyuruhnya juga untuk menghindari sifat2 yg hina seperti takabbur, sesuai dengan rumus satu ini. Pengosongan hal2 yg negative lalu baru diisi dg hal2 positif. Ibarat dokter dengan pasien, ketika pasien mengeluh sakit, lalu di cek up, kemudian si dokter akan memberi resep jitu yaitu agar ia meninggalkan segala sebab yg memungkinkan ia sakit, tinggalkan ini dan itu, baru selanjutnya dibarengi dengan obat-obat yg insyaAllah akan membantunya untuk sembuh. Konon juga para pemerhati masalah hati berpesan : “Kosongkan dulu baru diisi lagi! inilah rumus emas untuk mensucikan jiwa dan membersihkan hati. Kalau kamu mau mengisi sebuah gelas dengan air yang bersih, maka kosongkan dan tuang dulu air kotor digelas itu.. jika tidak, maka akan bercampur air bersih dengan kotor, dan menjadi kotor semua”.
4.       Syirik adalah sebuah kedzoliman yg sangat besar. Seorang yg musyrik adalah seorang yg mendholimi dirinya sendiri, mendholimi semua makhluq, mendholimi Sang Kholiq.
Kedholiman yaitu segala yg melampau batas yg ditentukan. Kesyirikan adalah kedholiman yg nyata, di dalamnya ada persamaan antara makhluq dan Kholiq. Seorang musyrik mendholimi Sang Kholiq, karena ibadah ia alihkan kepada selain Sang Kholiq. Ia juga mendholimi dirinya sendiri, karena ia telah mensia-siakan dirinya dg menyembah dan beribah kepada hal2 yg tidak pantas, bahkan pada hal2 yg hina sekalipun. Ia juga mendholim makhluq yg lain, karena ia akan memusuhi dan menentang orang2 yg bertauhid.

Ketika para Sahabat mendengar ayat dari surat Al An’am : 82, yang artinya : “dan orang2 yg beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dg kedholiman, maka mereka itulah yg mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang yg mendapat petunjuk”, para sahabat heran dan mengira bahwa dholim di sini yaitu berbuat dosa dan maksiyat, sehingga mereka bertanya : “dan siapa diantara kita yg tidak pernah berbuat dholim ?”. Rasulullah menjawab : “tidak seperti yg kalian kira, tetapi dholim di sini seperti yg dikatakan Luqman kepada anaknya : “sesungguhnya syirik adalah kedholiman yg besar”.

5.       Ketika Orang Tua menjalankan kewajibannya, ini merupakan fitrahnya. tetapi sebaliknya, berbirrul walidain adalah sesuatu yg butuh mujahadah & perjuangan, senantiasa butuh tadzkirah “pengingat” kebaikan2 yg mereka lakukan untuk anak2.

Wasiat anak untuk berbuat baik kepada orang tua, berulang ulang dalam Al Qur’an juga dalam As sunnah, tetapi sebaliknya wasiat orang tua untuk berbuat baik kepada anak sangat sedikit, hal ini karena ketika orang tua berbuat baik dan mengorbankan segala yg mereka miliki demi anak2nya merupakan naluri fitrah orang tua, mengorban semuanya demi kembang tumbuhnya anak2, demi terjaminnya kehidupannya nanti, bahkan mereka melakukannya scara otomatis, dg penuh keikhlasan, dan tanpa adanya keinginan balas jasa. Tetapi sebaliknya, seorang anak, butuh nasehat dan wasiat secara terus menerus untuk senantiasanya mengingatkannya untuk berbuat baik pada orang tua, orang umurnya semakin menua termakan usia, setelah usianya dia habiskan demi anak2nya.

6.       Berbuat baik kepada ibu mewajibkan pula berbuat baik kepada ayah, dan dikhususkan kata “ibu” dalam ayat karena jasanya dalam kepayahan ketika mengandung dan melahirkan.

Allah memerintahkan untuk berbuat baik kepada orang tua, dengan menyebutkan dalam ayat “kata ibu” secara khusus, tetapi hal ini mewajibkan pula berbuat baik kepada bapak karena apa yg telah beliau lakukan buat anaknya. Ketika dalam permulaan ayat 14, pengkhususan kata Ibu, tetapi di akhir ayat, Allah mengumpulkan antara ibu dan bapak, seraya berfirman yg artinya: “… hendaklah kau bersyukur kepadaKu, dan kepada orang tuamu”. Juga dalam ayat 15: “… dan hendaklah kau gauli mereka dengan cara yg baik…”.

Dalam ayat 14, yang artinya ; “…Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yg bertambah2.. “. Allah menyebutkan ttg pengorbanan seorang ibu dg kata “Wahnan ala wahnin, atau keadaan lemah yg bertambah2” untuk mencakup segala bentuk kelemahan yg dihadapinya, lemah tubuhnya, lemah jiwa dan perasaanya, lemah kekuatannya, lemah ketika ia mengerjakan sesuatu, lemah ketika bertindak, dan yg lainnya. Lemah yg terus bertambah lemah, tetapi kelemahan inilah yg merupakan keistimewaannya, sehingga seorang wanita akan selalu berusaha mencari cara untuk merasakannya. Subhanallah!.

7.       Seyogyanya seorang ibu memperhatikan hak anak2nya untuk memberikan ASI selama dua tahun.

Allah berfirman yang artinya : “.. dan menyapihnya dalam dua tahun”. Memberikan isyarat ttg masa pemberian asi, hendaklah selama dua tahun. Jika kurang dari dua tahun, maka seorang anak belum terpenuhi kebutuhannya, tetapi ketika lebih dari dua tahun pun kelebihan tsb tidak akan membawa manfaat baginya, bahkan bisa jadi membahayakannya.

Tidak lupa kita tahu ttg manfaat ASI bagi ibu juga sang anak, manfaat untuk badan, juga psykologi anak, sehingga para ulama mengatakan bahwa ASI menjadi salah satu sebab pertumbuhan anak dg baik dan alami.

8.       Allah memerintahkan bersyukur kepada orang tua setelah bersyukur kepada Allah ; Pengagungan hak2 orang tua.

Allah berfirman yang artinya : “…hendaklah kau bersyukur kepadaKu, dan bersyukur kepada orang tuamu..”. didalamnya terdapat pengagungan hak2 orang tua. Kewajiban anak2, bersyukur kepada Allah atas smua nikmatnya, juga bersyukur kepada orang tuanya berdasarkan ayat ini.

Tetapi hakekat syukur tidak ada kecuali hanya untuk Allah, dan bersyukur kepada orang2 yg berbuat baik kepada kita adalah termsuk bersyukur kepada Allah, karena Allah lah yg memberikan ilham kepada mereka untuk berbuat baik. Syukur kepada orang tua, juga bentuk syukur kepada Allah. Walaupun secara dhohir, syukur kepada orang tua, tetapi sesungguhnya hakikatnya syukur kepada Allah yg telah menjadikan keduanya sebagai perantara adanya manusia, yg telah menjadikan keduanya mempunyai perasaan kasih sayang kepada anak2nya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah “Siapa yg tidak bersyukur kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah”.

9.       Ikatan Aqidah lebih didahulukan dari pada ikatan nasab, tetapi berbuat baik kepada keduanya tidak pernah gugur sama sekali walaupun perbedaan aqidah.

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. (Luqman : 15)

Ayat di atas merupakan prinsip yg seimbang berkaitan dg birrul walidain, meliputi :

Bahwa birrul walidain wajib pada tiap waktu, walaupun orang tua melakukan kesalahan thd anaknya, walaupun juga orang tua menggauli anaknya tidak dg kasih kasang. Dan birrul walidain ini tidak akan pernah gugur, walaupun mereka berbuat sebuah dosa besar sekalipun, walaupun mereka orang kafir sekalipun. “.. dan pergauli keduanya di dunia dg baik..”.

Tetapi ketaatan anak kepada orang tua adalah ketaatan yg tidak buta, ia merupakan ketaatan yg terikat, yakni ia mentaati keduaorangtuanya pada hal2 yg Allah ridhoi, tidak pada hal2 yg Allah benci, Seorang anak tidak boleh taat ketika mereka memerintah untuk berbuat maksiyat, atau untuk menjadi kafir, karena sebuah kaedah dan prinsip “Tiada ketaatan bagi seorang makhluq pada kemaksiyatan kepada Kholiq”.

Ayat di atas pun membedakan antara dua kata : “Berbuat baik dan Taat”.

Berbuat baik kepada mereka diharuskan pada tiap waktu, tiap saat, walaupun mereka adalah orang kafir. Tetapi ketaatan terikat dg ketaatan kepada Allah, Tiada ketaatan bagi keduanya jika perintah mereka bertentangan dg perintah Allah.

Tercatat bahwa ayat 15 dari surat Luqman ini turun atas Sa’ad Bin Abi Waqqash. Suatu ketika Ummu Sa’ad bin Abi Waqqash bersumpah untuk tidak berbicara dg Sa’ad hingga ia (Sa’ad) keluar dari Islam dan kembali kepada kekafiran, ia berkata kepada Sa’ad : “Kau bilang bahwa Allah memerintahmu untuk berbuat baik pada orang tuamu. Aku ini ibumu, dan aku memerintahmu untuk ini (untuk kembali kepada Kafir)”. Hal ini berlangsung 3 hari hingga si Ibu jatuh pingsan karena lelah dan kecapean, tiada kekuatan (karena tidak makan), hingga saudara Sa’ad memberinya minum, lalu si ibu bangkit lagi dan mendoakan kejelekan buat Sa’ad, hingga turunlah ayat : 15 ini. (HR. Muslim)

Dalam riwayat Abu Dawud, Sa’ad berkata : aku adalah seorang anak yg berbakti kepada orang tua, hingga aku masuk Islam, ibuku berkata : Hai Sa’ad, apa yg terjadi dengan mu. Tinggalkan agamamu, atau aku tidak akan makan dan minum hingga aku mati, dan kau akan dicela oleh orang2 hingga mereka mengatakan: Hai si pembunuh ibunya. Aku  berkata kepada ibuku : Jangan kau lakukan itu wahai ibuku, aku tidak akan tinggalkan agamaku untuk perintah ini. Hingga ia tetap dlm kondisi tidak makan minum hingga tiga hari, hingga ia sampai pada puncak lelah badannya, dan aku berkata : “wahai Ibu, demi Allah, jika kau punya 100 nyawa dan satu per satu nyawa itu keluar dari badanmu, aku sekali2 tidak akan meninggalkan agamaku”.

10.   Kewajiban orang tua untuk menanamkan rasa muraqabatullah dan takut padaNya di kehidupannya, dan bahwasanya Ilmu Allah meliputi semuanya yg ada di bumi dan di langit.

11.   Keimanan adalah apa yg terpatri di hati dan dibenarkan dengan amal perbuatan.

Di sini Luqman menjelaskan kepada anaknya, bahwa keimanan tidak cukup hanya terpatri di hati, tetapi dalam keimanan ada konsekwensi yg harus direalisasikan secara ri’il di lapangan, membawa keimanan yg ada dalam hati untuk dibenarkan dengan amal perbuatan, amal2 yg bentuknya antara wajib atau sunnah. Di sini Luqman memerintahkan untuk mendirikan sholat dan amar ma’ruf nahi mungkar.
Amalan sholihah akan menguatkan keimanan hati, karena iman adalah perkataan dan perbuatan, sebagaimana ia bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan, berkurang dengan kemaksiatan. Allah berfirman dalam Al Qur’an Al Anfal : 2, yg artinya : “Sesungguhnya orang2 beriman itu mereka yg jika disebut nama Allah, hatinya bergetar, jika dibaca ayat2 Allah, bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhan mereka berserah diri”.

Rasul pun juga menjelaskan, bahwa Iman mempunyai cabang, dengan sempurnanya cabang maka sempurna pula iman, tetapi jika cabangnya berkurang, keimanan juga berkurang. Sabda beliau : “Iman ada 70 dan sekian cabang, yg paling afdhol yaitu ucapan Laa ilaaha illallah, dan yg paling rendah yaitu menyingkirkan ‘sesuatu yg mengganggu’ dari jalan, dan rasa malu merupakan salah satu cabang iman”. (HR. Muslim).

Dari hadits di atas, hendaklah seorang muslim menjaga cabang2 iman, supaya keimanannya tetap sempurna dalam jiwanya, dan akan memberinya cahaya untuk menjalankan kehidupan dunia, menjaganya dari fitnah dan musibah2 yg ada.

Dari sinilah, peran penting para Nabi dan Rasul, juga para Mushlihin, mereka senantiasa memberikan wasiat/nasehat kepada masyarakat untuk beramal sholeh, dan sholat merupakan hal yg pertama darinya, tiada yg menjaga sholat kecuali ia seorang yg mukmin, dan tiada yg merasa berat melakukannya kecuali ia orang yg munafiq.

12.   Mendidik anak supaya cinta kepada kebaikan, cinta untuk melaksanakannya, juga merasa peduli dengan upaya perbaikan di masyarakatnya.

Wasiat Luqman “dan suruhlah manusia berbuat yg ma’ruf dan cegah mereka dari yg mugkar”, memberikan sebuah isyarat ttg reformasi masyarakat, karena seorang mukmin tidak cukup jika ia menjadi seorang yg sholih saja, tetapi ia juga harus menjadi seorang yg mushlih.
Maka penting sekali bagi para pendidik untuk memperhatikan dua sisi dlm pendidikan :
a.       Sisi perbaikan diri
b.      Sisi perbaikan masyarakat.

Dua hal tersebut berhalan dg seimbang dan selaras, perbaikan diri membawa manfaat buat diri sendiri, perbaikan masyarakat membawa manfaat buat lingkungan sekitar. “Sebaik-baik kalian adalah orang yg bermanfaat bagi manusia”, begitu syiar seorang muslim.

Dalam upaya perbaikan masyarakat, harus diperhatikan banyak rambu2, termasuk diantaranya yaitu:
Lembut dalam beramar ma’ruf nahi mungkar sbagamana firman Allah surat Ali Imran : 159, “Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu..”.

Imam Syafi’I berkata : “barang siapa yg memberikan nasehat kepada saudaranya secara rahasia, maka sungguh ia telah memberikan nasehat. Siapa yg melakukannya secara terang2an, sungguh ia telah membeberkan aibnya dan menjelekkannya”.

Selain itu, ia juga perlu bersabar didalamnya, bersabar dalam jalan dakwah, dalam kesulitan2 yg akan menghadangnya, sehingga pahala yg agung menanti mereka.

Ujian dalam dakwah bukanlah hal yang baru. Ia aka nada terus, dari jaman dahulu hingga sekarang. Dalam perjalanan dakwah para Nabi dan Rasul, terdapat contoh yg nyata dalam masalah ini.

Hal lain yg perlu diperhatikan juga, bagaimanapun dakwah kepada jalan Allah bukan berarti dibolehkan menghina manusia atau bertakabbur atas mereka. Hal ini sesuai dengan nasehat Luqman kepada anaknya : “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia [karena sombong] dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”

Jadikan syiar kita hadits Rasul “..tiada seseorang yg tawadhu’ kecuali Allah akan meninggikannya”. (HR. Muslim)

13.   Keseimbangan dalam gerakan dhohir, mempengaruhi keseimbangan jiwa seseorang.

Dan sederhanalah kamu dalam berjalan  dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Luqman : 19)
Dalam ayat tersebut, adanya isyarat ttg adab2. Yaitu : adab berjalan dan adab berbicara.
Termasuk adab berjalan : berjalan dg penuh kesederhanaan, tengah2, tidak terlalu cepat atau terlalu pelan. berjalan dengan seimbangan disertai ketenangan yg merupakan salah satu sifat Ibadur rahman dalam surat Al Furqan : 63 “Dan hamba-hamba Tuhan ialah orang yg berjalan di atas bumi dg rendah hati”.
Kesederhanaan dalam berjalan berarti pula, ketika berjalan ia punya tujuan, tidak berjalan tanpa arah dan tujuan.
Sedangkan adab bicara, Allah memerintahkan untuk melunakkan suara. Melunakkan suara mengandung banyak makna ; percaya diri, kejujuran dalam ucapan, tidak mengeraskan suara ketika tidak dibutuhkan. Melunakkan suara menjadi efisien buat pembicara, karena hemat tenaga, juga efisien buat pendengar hingga tidak menyakitinya.
Mengeraskan suara tanpa kebutuhan akan bermadharat bagi diri sendiri juga pendengar. Tenaga akan terkuras, pun ia tidak akan menjumpai pendengar yg akan mendengarnya. Tetapi ketika dibutuhkan, maka wajib dilakukan. Seperti seorang khotib yg sedang berkhutbah, seorang penceramah di depan khalayak ramai, dll.
Dalam perang Hunain, ketika para sahabat melarikan diri, Rasul berteriak dg suara keras : “Aku adalah seorang Nabi dan tidak ada dusta di dalamnya, aku adalah anak Abdul Mutallib”. Beliau memerintah kepada Abbas untuk berseru kepada manusia dengan suara yg keras, supaya mereka kembali dan tidak lari.
Ketika berkhutbah, diriwayatkan bahwa beliau jika berkhutbah maka kedua matanya menjadi mereka, dan mengeraskan suaranya, seakan2 beliau seperti seorang komandan yg member aba2 kepada tentaranya.
“.. dan lunakkan suaramu..” mengandung arti anjuran kepada manusia untuk menghindari pertengkaran yg akan menyebabkan ia mengeraskan suara, tetapi mengeraskan suara tidak pada tempatnya, dan tanpa sebab ataupun faidah.
Secuil penjelasan ttg nasehat Luqman kepada anaknya, berikut pelajaran ataupun sisi tarbiyah yg bisa kita ambil untuk kita jadikan landasan dalam mendidik anak2 kita ala Luqman. Smoga bermanfaat.
Wallahu a’lam.
Kesimpulan :  sisi Tarbiyah keluarga ala Luqman al Hakim
1.       Seorang Mukmin bertugas untuk “ishlah” dalam dirinya, hatinya, juga rumahnya.
2.       Kewajiban pertama atas orang tua ; penanaman Aqidah yg shohih kepada anak2nya.
3.       Kosongkan baru di isi.
4.       Syirik adalah kedholiman yg nyata.
5.       Ketika Orang Tua menjalankan kewajibannya, ini merupakan fitrahnya. Birrul Walidain butuh mujahadah.
6.       Berbuat baik kepada Ibu menuntuk pula berbuat baik kepada Bapak. Kalimat ibu lebih didahulukan karena kepayahannya selama hamil dan melahirkan.
7.       Adanya hak penyusuan secara alami (ASI) bagi anak ; hak anak atas ibunya.
8.        Allah memerintahkan bersyukur kepada orang tua setelah bersyukur kepada Allah ; Pengagungan hak2 orang tua.
9.        Ikatan Aqidah lebih didahulukan dari pada ikatan nasab, tetapi berbuat baik kepada keduanya tidak pernah gugur sama sekali.
10.    Mendidik anak dalam hal muraqabatullah dalam tiap urusannya.
11.   Keimanan adalah kepercayaan yang ada dalam hati, dan dibenarkan oleh perbuatan.
12.   Mendidik anak untuk cinta kepada kebaikan, mengajak kepadanya, berkeinginan dan berupaya “ishlah” masyarakat.
13.   Keseimbangan dalam gerakan dhohir, mempengaruhi keseimbangan jiwa seseorang.
Wallahu a’lambisshowab.
*Diringkas terjemahkan dari salahsatu bab dalam buku "Almafahim Attarbawiyah fii Usratil Anbiya“* oleh:
Lathifah Munawaroh, M.Sh. 




www.flickr.com

© 2006 ummi asiya | Blogger Templates by GeckoandFly| diutak-atil olehabi asiya .