Setelah hening sejenak, penulis lanjutkan diskusi dengan ibu-ibu muda yang berasa semangatnya untuk tahu. Terlihat antusias dari interaksi mata, dan dari pertanyaan-pertanyaan yang terlontarkan. Karena mmg bab ini adalah bab yang cukup sensi untuk para istri.
Dua hadis pada bagian sebelumnya cukup menjadikan bulu kuduk kita berdiri sebagai seorang istri. Ancaman bagi para istri yang meminta gugat cerai –tanpa alasan-. Ingat, tanpa alasan!. Coba kita renungkan kembali hadis pada bagi kedua.
Hadis pertama:
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَير مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَير مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ
“Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai _*tanpa kondisi mendesak*_ maka haram baginya bau surga” (HR Abu Dawud dan At-Turmudzi).
Hadis Kedua:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُنْتَزِعَاتُ وَالْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُنْتَزِعَاتُ وَالْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
“Para wanita yang berusaha melepaskan dirinya dari suaminya, yang suka khulu’ (gugat cerai) dari suaminya, mereka itulah para wanita munafiq.” (HR. Nasa’i)
Dan perlu diketahui atau lebih tepatnya, perlu ditekankan disini, bahwa yang jadi standar sebuah alasan atau tidak yaitu si istri sndri, karena si istri sebagai pelaku. Ketika tidak ada alasan, maka hati yang akan berperang. Ketika ada alasan, maka semoga tidak termasuk dalam ancaman di atas. Karena, lagi-lagi dalam prolog sdh penulis tegaskan, siapa sih yang mau berhenti RT sebelum sampai 7an?. adakah?.
Sehingga sebagai orang luar, saya, atau pembaca yang tidak berada dalam RT tersebut tidak perlu kepo apa alasannya sih kok si fulan gugat cerai, atau bahkan tidak boleh sampai menjudge, dia gugat cerai lho padahal suaminya kurang apa sih?!. Bisa-bisa dia masuk neraka!. Duh, smpai seperti itu kah?!. Jaga lisan, jaga hati dari suudzon apalagi smpai menghukumi rumah tangga lain dari sisi dhohir/yang tampaknya saja. Berdoa bersama semoga RT yang kita bangun menjadi RT yang dapat menjadi Qurrata a’yun seperti doa2 kita, yang tertulis pada surat al Furqan pada ayat terakhir.
Berkaitan dengan gugat cerai, ingatan penulis terbawa pada bab Khulu’ pada kitab2 Fiqih Munakahat, sebuah bab yang membahas tentang Khulu’, atau bisa dikatakan juga gugat cerai, istri mnta cerai kepada suami dengan cara membayar atau mengembalikan maharnya.
Khulu’ dari akar kata: kha – la – ‘a. yang artinya melepas. Lazimnya kata ini sering dipake untuk melepas baju atau melepas sandal. Suami istri ibarat baju untuk satu sama lain. Bukankah Allah berfirman pada QS al-Baqarah: 187.
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
“.. Mereka (istri) adalah pakaian bagi kalian, dan kalian adalah pakaian bagi mereka (istri)…”
Perumpamaan yang indah bukan tentang pasangan suami istri, sehingga diibaratkan oleh Allah seperti baju dengan segala makna yang terkandung. Dan maknanya tentu banyak skali. Baju memberikan perlindungan, memberikan rasa PD, menjadikan hiasan, menutupi aurat dan cacat, melindungi dari panas dan dingin, dan sederet makna pakaian yang bisa pembaca tambahkan sendiri.
Perumpamaan yang indah bukan tentang pasangan suami istri, sehingga diibaratkan oleh Allah seperti baju dengan segala makna yang terkandung. Dan maknanya tentu banyak skali. Baju memberikan perlindungan, memberikan rasa PD, menjadikan hiasan, menutupi aurat dan cacat, melindungi dari panas dan dingin, dan sederet makna pakaian yang bisa pembaca tambahkan sendiri.
Jika RT terjadi perpisahan, maka seakan2 baju ini ada yang dilepaskan, sehingga istilah khulu’ dalam bab fiqih pernikahan di ambil dari akar kata ini. Sementara secara istilah, dalam Madzhab Syafii seperti yang ditulis pada kitab Mughni al-Muhtaj, khulu’ adalah perpisahan antara suami istri dengan tebusan dengan lafal Thalaq atau lafal Khulu’. Sementara an-Nawawi dalam Raudhat al-Thalibinnya mendefinisikan bahwa khulu’ adalah perpisahan dengan tebusan yang diambil oleh seorang suami.
Dan inilah salah satu dari bentuk keadilan Islam. Ketika suami memiliki hak thalaq, maka istri pun ada hak khulu’. Dua syariat yang keduanya memiliki hikmah untuk suami istri sndiri, tentu jika keduanya dilakukan susuai dengan syariat dan ketentuannya. MasyaAllah.
-Bersambung -
@Ngaliyan, Semarang, 4 Feb 2019.
Labels: fikih rumah tangga, keluarga, khulu'
0 Responses to “Gugat Cerai -bagian 3-”